Thursday, May 3, 2012

"Aku duduk bersandar dan aku merasa lemah sekali…., dan tidak tahu lagi harus berbuat apa untuk membuktikan sebuah angan yang menjadi beban dalam kebisingan otakku, aku tak tahu lagi bagaimana aku membuktikan apa yang kurasa pada dirimu, dirimu bagaikan batu yang harus kutembus dengan tetesan air sedikit demi sedikit,….. dan akankan dirimu mampu menerimaku apa adanya…… ?"



Aku? Siapakah aku? Aku hanya anak dari tukang pijat keliling yang penghasilannya 20.000 rupiah seharinya. Itupun jika ada. Jika tidak. Bisa-bisa kami sekeluarga tidak makan seharian. Kerjakupun hanya sebagai kuli angkut. Sedangakn dirinya, dia adalah ribuan warna dalam indahnya pelangi bagiku.Citra. Anak pengusaha kaya di kota ini. cantik, elok, jelita, dan tak terbersit kekurangan darinya. Mungkin aku hanya bermimpi untuk mendapatkan cintanya. Aku yang sedari SMP menmendam rasa padanya. Hanya mampu menyimpan saja. Aku tak berani mengungkapkan. Aku kalah oleh rasa takut. Takut ditolak olehmu. Dan akhirnya. Aku hanya menyimpan rasaku sampai saat ini.
Saat SMA, kami pernah sekali sekelas. Namun, aku tetap tak berani mengatakan rasaku pada Citra. Sesekali aku senang bisa sekelompok dengannya. Bahkan aku kegirangan saat bisa kerumahnya untuk mengerjakan tugas Bahasa Indonesia. Ketika itu aku bertemu dengan Mama dan Papanya. Aku memabayangkan melamar Citra pada mama dan papanya. Tapi siapakah aku yang berani-beraninya bermimpi setinggi itu. Ah… Mencintaimu pastilah sulit bagiku. Karena aku hanyalah pungguk yang merindukan bulan. Bagaimana kata orang tuamu nanti, jika aku benar melamarmu. Mereka pasti meremehkan aku. Mereka menganggap harta yang paling penting.
Namun kali ini berbeda. Aku dengar bahwa Citra akan dilamar oleh Fahri. Sahabatku. Namun nasib Fahri jauh lebih beruntung dibandingkan denganku. Dia menjadi guru di salah satu sekolah ternama di kotaku. Dan aku, masih setia memikul karung-karung beras di pundakku.
Ah… Andaikan saja mencintaimu tidak memandang harta sebagai yang terpenting. Akan aku buktikan cintaku dengan berapa banyak karung beras yang sudah kupikul seharian ini. Aku bisa memikul 3 truk penuh karung beras tanpa istirahat. Hanya untuk Citra.
Tapi jika sudah begini, aku tak tau harus berbuat apa. Citra akan dilamar oleh Fahri. Ah...
“Resa… melamun saja kamu. Dengar-dengar, Citra akan dilamar oleh Fahri?” Teguran Pak Paijo membuyarkan lamunanku.
“Eh. Iya pak. Tak taulah aku  harus bagaimana.”Jawabku sekenaya.
“Lamar dia saja duluan Sa. Tentu kamu punya uang tabunganmu untuk Citra itu kan? Yang tempo hari kau ceritakan padaku itu.” Kata pak Paijo.
“Benar juga Pak. Tapi aku tak yakin jika begini pak.”
“Sudahlah, aku mendukungku Sa.”
            Tapi akhirnya aku nekat juga. Pagi itu aku nekat kerumah Citra untuk melamarnya. Aku telah menghabiskan seluruh uang tabunganku untuk membelikan Citra cincin. 300.000 tabungnku, tak tersisa lagi. Padahal bapak sedang sakit dirumah. Tapi aku sudah nekat dan tak mau kehilangan Citra.
Pagi itu aku meminjam pakaian milik bapak. Bapak bilang ini baju bapak waktu pulang melamar emak dulu. Kemeja putih yang usang, yang jika dilihat lagi sudah berupa seonggok kain lap putih yang sengaja masih disimpan rapi oleh pemiliknya. Celanapun juga sudah butut. Aku tak punya pilihan lain lagli. Terpaksa aku memakainya. Dan sesesgera mungkin menuju rumah Citra.

Sesampainya disana aku melihat mobil Fahri.
Hatiku langsung mencelos melihatnya. Aku berniat langsung pulang. Tapi Citra melihatku, lalu memanggilku untuk sekedar mampir menjadi saksi lamaran Fahri pada Citra. Sesampainya didalam ternyata kedua keluarga ini sudah merencanakan tentang pernikahan mereka berdua. Aku dipandang rendah oleh mereka, tentu karena bajuku. Lemas aku rasanya. Aku hanya diam, terluka sendiri. Namun sungguh aku tak sanggup berbesar hati. Menerima kecewa dalam pikiran sunyi. Kakiku lemas. Mataku panas. Lidahku kelu. Ingin aku bunuh Fahri dan mencabiknya. Karena dia telah merebut Citra dariku. Aku bagaikan tertelan ribuan warna dalam indahnya pelangiku, pelangiku Citra.
Sepulangnya dari rumah Citra, aku berjalan terhuyung. Cemoohan itu, lamaran Fahri. ah…
Aku sudah tak ada harapan lagi bersama Citra. Jangankan hanya untuk bersama, untuk mengungkap rasa saja tidak tercapai.
Sesampai dirumah kuambil pisau berkarat. Ku iris-iris pergelangan tanganku. Sakit, perih, sedetik kemudian aku tersungkur ke tanah. Darah kian mengucur deras. Beberapa menit berlalu, Namun aku tak kunjung menghembuskan nafas terakhirku. Apa karena pisau orang miskin ini? Pisau berkarat milik emak. Ah… akhirnya aku ambil garpu. Aku tusuk-tusukkan pada pergelanganku tadi.  Seperih rasa cintaku pada Citra. Sesakit cemoohan mereka yang tadi kurasakan. Setelah lemas. Aku pasrah. Mungkin juga aku sudah siap menghadapi liang tanpa celah, dengan Tanya marrobbuka malaikat sang pencipta. Yang kupikir sekarang Citra, Citra, dan Citra.
------------
Tak tau berapa lama aku terbaring. Namun rasaku tak memakai apa-apa. Baju seba putihku, dan tali simpul diatas kepalaku. Lantunan yasin. Dan rasa perih. Aku sontak ketakutan, aku berteriak. Bangun dari tempat tidurku. Orang-orangpun berlarian dari rumah. Hanya tersisa Bapak dan Pak Paijo. Yang sedetik kemudian pak Paijo pingsan.
Aku mati suri. Namun, hanya ada satu yang selalu ada dipikiranku. Citra. ah... aku tak bisa menembus hati Citra.



(Hmm... Cerpen saya ini sebenarnya cerpen sedih.. tapi, waktu dibacakan kedepan teman-teman ngakak2 gitu, -.-" .
Apalagi pas bagian mikul 3 truk karung beras... pas bunuh diri gak sukses, malah ambil garpu... :-D
kata bu Djumalia cerpenq sebenerx bisa buat orang nangis, tapi berhubung aku yang baca.. jadi ya, begitulah
:-D ndak nyangka bisa ngarang dlm waktu 4 jam, :-D)
Penulis : Kurnia Siptana

1 komentar:

Nia said...

ada yg salah... :-D
Citra. Anak pengusaha kaya di kota ini. Tampan, gagah, rupawan diganti : Citra. anak pengusaha kaya di kota ini. Cantik, jelita, ceria

Search This Blog

Illustrator :

Corel Draw :

Friends :