Showing posts with label Sastra. Show all posts
Showing posts with label Sastra. Show all posts
Sunday, May 6, 2012
The Adventure Of Charles Augustus Milverton by Sir Arthur Conan Doyle



It is years since the incidents of which I speak took place, and yet it is with diffidence that I allude to them. For a long time, even with the utmost discretion and reticence, it would have been impossible to make the facts public, but now the principal person concerned is beyond the reach of human law, and with due suppression the story may be told in such fashion as to injure no one. It records an absolutely unique experience in the career both of Mr. Sherlock Holmes and of myself. The reader will excuse me if I conceal the date or any other fact by which he might trace the actual occurrence.
     We had been out for one of our evening rambles, Holmes and I, and had returned about six o'clock on a cold, frosty winter's evening. As Holmes turned up the lamp the light fell upon a card on the table. He glanced at it, and then, with an ejaculation of disgust, threw it on the floor. I picked it up and read:
 
The Field Bazaar by Sir Arthur Conan Doyle (1896)

"I Should certainly do it," said Sherlock Holmes.
     I started at the interruption, for my companion had been eating his breakfast with his attention entirely centered upon the paper which was propped up by the coffee pot.  Now I looked across at him to find his eyes fastened upon me with the half-amused, half-questioning expression which he usually assumed when he felt he had made an intellectual point.
     "Do what?" I asked.
     He smiled as he took his slipper from the mantelpiece and drew from it enough shag tobacco to fill the old clay pipe with which he invariably rounded off his breakfast.
     "A most characteristic question of yours, Watson," said he.  "You will not, I am sure, be offended if I say that any reputation for sharpness which I may possess has been entirely gained by the admirable foil which you have made for me.  Have I not heard of debutantes who have insisted upon plainness in
Sir Arthur Conan Doyle
The Adventures of Sherlock Holmes

We were seated at breakfast one morning, my wife and I, when the maid brought in a telegram. It was from Sherlock Holmes and ran in this way:
      Have you a couple of days to spare? Have just been wired for from the west of England in connection with Boscombe Valley tragedy. Shall be glad if you will come with me. Air and scenery perfect. Leave Paddington by the 11:15.
      "What do you say, dear?" said my wife, looking across at me. "Will you go?"
      "I really don't know what to say. I have a fairly long list at present."
      "Oh, Anstruther would do your work for you. You have been looking a little pale lately. I think that the change would do you good, and you are always so interested in Mr. Sherlock Holmes's cases."
      "I should be ungrateful if I were not, seeing what I gained through one of them," I answered. "But if I am to go, I must pack at once, for I have only half an hour." My experience of camp life in Afghanistan had at
Sir Arthur Conan Doyle
The Adventures of Sherlock Holmes
 
"To the man who loves art for its own sake," remarked Sherlock Holmes, tossing aside the advertisement sheet of the Daily Telegraph, "It is frequently in its least important and lowliest manifestations that the keenest pleasure is to be derived. It is pleasant to me to observe, Watson, that you have so far grasped this truth that in these little records of our cases which you have been good enough to draw up, and, I am bound to say, occasionally to embellish, you have given prominence not so much to the many causes celebres and sensational trials in which I have figured but rather to those incidents which may have been trivial in themselves, but which have given room for those faculties of deduction and of logical synthesis which I have made my special province."

"And yet," said I, smiling, "I cannot quite hold myself absolved from the charge of sensationalism which has been urged against my records."

"You have erred, perhaps," he observed, taking up a glowing cinder with the tongs and lighting with it the
Saturday, May 5, 2012
Bagiku jarak adalah palu besar bagi sebuah hubungan. Penghalang dan pengacau! Tapi sekarang…….. semuanya berubah.

Desember 25, 2011, by : Nafila Zain
"Air putih?" Aku menawarkan sebotol air mineral berlabel yang ku beli dengan harga 5000 rupiah itu, cukup mahal memang untuk sebuah botol berukuran sedang. Tapi ya, ini bandara Soekarno Hatta, tempat semua menjadi mahal, jika sebotol air mineral saja bisa sebegitu mahalnya, apalagi harga sebuah pertemuan.

Arie tak menjawab apa-apa, hanya mengambil air yang aku sodorkan, membukanya dengan pelan tapi cukup kuat, terlihat dari urat yang menonjol di punggung tangannya yang berkulit agak kecoklatan itu. Meneguknya perlahan, lalu kembali memberikannya padaku.

Aku dan Arie,
kami tidak mampu mendeskripsikan apa yang sedang terjadi diantara kita, tapi satu hal pasti yang aku tau, aku sayang pria yang sedang berdiri didepanku ini. Gelisah seakan menunggu sesuatu, melihat jam berkali-kali di tangan kanannya. Atau melihat sebuah layar LCD besar dekat tempatnya berdiri.

Arie yang selalu kebingungan setiap aku kebingungan mengapa ia selalu memakai jam ditangan kanan. Arie yang seringkali menelponku di kala hari mulai pagi hanya untuk sekedar bercengkrama pelan, lalu aku tertidur tanpa mendengar lagi apa yang Arie utarakan.

Aku sayang pria ini, pria yang sejak sejam yang lalu mengecek ponselnya, bertanya kepada bapak penjaga terminal bandara ini, menanyakan kabar pesawat yang diincarnya. Aku tidak bisa berbuat banyak, hanya menawarkan air mineral, dan menepuk bahunya pelan untuk mengingatkannya agar selalu bersabar.

Mengingatkannya bahwa arti pertemuan itu mahal.

"Jadi, udah mulai terbiasa sama jarak?" Aku membuka pembicaraan ditengah riuhnya bandara dan suara tas koper yang didorong mondar mandir disekeliling kami duduk. Arie hanya menerawang dan mengangkat sedikit alisnya, kembali melihat jam di tangan kanannya dan mengecek ponsel hitamnya, lalu memasukkan kembali ke saku jaket yang ku belikan untuk hadiah ulang tahunnya setahun lalu. Sebuah jaket coklat, yang ku beli dengan uang tabunganku sendiri, yang diterimanya dengan wajah sumringah dan tawa renyah yang menunjukkan deretan gigi rapi walau dengan gusi yang mulai menyoklat karena kebiasaan merokoknya yang tidak kenal waktu.

"Ga tau, dibiasain aja.. Kan kalau kangen masih bisa nelpon atau skype kan?"
"Yakin rindu bisa disembuhkan hanya dengan pembicaraan via teknologi?" Aku tersenyum nakal sembari memberikannya kode untuk pindah tempat duduk ke tempat yang lebih kondusif. Kehingaran bandara membuat aku tidak dapat menikmati suara halusnya dan intonasi lembut serta pelan yang keluar dari mulut seorang Arie. Lagi-lagi Arie hanya mengangkat alis. Menyamakan langkah denganku dan terhenti pada sebuah kedai kopi di pojok terminal.

"Aku masih belum yakin, Mbem.." Arie menyebutku "Mbem", pipiku yang bulat menuntunnya memanggilku dengan sebutan demikian, aku tidak pernah complain, aku merasa panggilan itu aman dimulutnya. Aku menikmatinya. "Kita liat aja bisa sejauh apa kan? Emang kamu punya prediksi bakal sejauh apa? Jarak seharusnya bukan jadi masalah sih, selama dua orang itu saling percaya dan punya tujuan yang sama kan?"

Aku meminum kopi gelasku, menawarkan sisanya kepada Arie. Ia menjauhkan gelas kopi itu dari jangkauannya, seakan berpikir sangat berat akan arti sebuah pertemuan langka dan perpisahan yang akan menjadi sahabat. Tidak biasanya Arie menolak kopi yang ditawarkan, guratan di dahinya seakan mengatakan bahwa ada yang berlari dikepalanya.

"Percaya aja Mpengg, kalau emang jodoh ga akan kemana.. Kalau kamu ga yakin jangan dijalanin.. Hubungan itu butuh kesiapan dua  belah pihak, kalau hanya kamu atau pasangan kamu yang siap, gak akan bisa jalan.. Percaya aja, bahwa kita ini terlahir ke dunia udah dengan garis tangannya masing-masing. Kamu tinggal jalanin diri kamu yang terbaik aja, kebaikan akan mengikuti kamu.."

"Aku serius dengan hubungan ini, Mbem.."
"Lahh ya kalau serius sok atuh dijalanin, Mpengg.. Apa lagi yang ngeberatin kamu? Jarak? Cuma 4 tahun Arie.. Abis kelar master, tinggal nikah.."
Arie tertawa pahit, kalah dengan argumenku, Arie akhirnya meminum kopi yang ku tawarkan. Lalu ikut memesan segelas kopi mocha dan menoyor kepalaku. Aku dan Arie memang seperti ini, menghabiskan waktu berdua semenjak kami masih duduk di bangku sekolah hingga kami setua ini. Arie yang mengajariku tentang cinta, Arie pula yang sering mengomeliku untuk tetap bertahan dalam sebuah hubungan jarak jauh. Arie  yang menemani malamku, aku yang mengisi kesepian Arie. Kami memang saling semengisi itu..

"Kamu pernah keberatan sama jarak, Mbem?"
"Aku? Untuk apa.. jarak hanya menjadi masalah kalau cinta dan kepercayaan tidak terlalu kuat, Mpengg.. Hehe. Rugi mikirin hal yang memberatkan, pola pikirnya jadi berantakan. Mendingan mikir untungnya, setidaknya ada orang yang ditunggu dan menunggu kita, dibanding mikirin kapan bisa berdiri ditempat ini lagi untuk menunggu kan?" pikiranku mulai kacau, dan aku tau bahwa aku sedang berbohong.
"Yeah.."
"Relax, Arie.. Everything will be fine. Put your faith, Distance is not for the fearful, it is for the bold. It's for those who are willing to spend a lot of time alone in exchange for a little time with the one they love. It's for those knowing a good thing when they see it, even if they don't see it nearly enough..."
Aku mengenggam tangan Arie, menguatkannya dengan cara menguatkan genggamanku di tangannya.

Arie kembali melihat jam,
"Seharusnya sudah waktunya.."
"Sabar.. Nikmatin aja dulu kopi kita selama kita masih ada waktu.."

Aku menyeruput kopi yang masih hangat, dan mulai mengeluarkan Blackberry ku untuk mengecheck Timeline Twitter. Arie masih sibuk dengan ponselnya, mengetik pesan yang sepertinya penting untuknya. Mata bundarnya mencari kesana kemari, entah apa yang dicari. Mungkin kesempatan, mungkin waktu, mungkin kekuatan.. atau mungkin harapan.
Aku mencoba tenang dengan melihatnya, menguatkannya lagi dengan menepuk ringan bahunya. Membiarkan ia menggerakkan kakinya ke kaki meja, walau itu sebenarnya agak mengangguku karena kopiku yang menjadi bergerak-gerak dan sedikit tumpah. Arie memang seperti itu, kakinya terprogram untuk tak bisa diam, apalagi di kala ia sedang menunggu sesuatu.

Aku masih menikmati kopi dan timeline Twitter saat aku mendengar pemberitahuan bandara internasional ini. Dengan bergegas aku dan Arie membereskan semuanya. Dan menaruh HP, membayar apa yang dipesan dan menuju tujuan tempat kami berangkat ke bandara ini.

Arie berdiri, aku terdiam.
Arie mengalihkan pandangannya dariku, seakan mencari sesuatu. Aku semakin terdiam.

...

Dari arah kejauhan, bahkan tanpa kacamata, aku bisa melihat sesosok wanita berambut tergelung keatas. Mengenakan sweater pink yang pas sekali jatuh ditubuhnya. Dengan anak rambut yang menutupi tengkuknya. Mendorong kereta berisi 2 buah koper besar dan boneka beruang berwarna coklat. Aku masih terkesima dengan elok tubuhnya, merah bibirnya dan senyum manisnya saat ia berteriak...

"Arie! Ellena!"

Ya perempuan itu menghampiri kami, memeluk Arie dengan erat sekali. Aku bisa melihat dengan jelas bagaimana Arie menutup matanya seakan menikmati sekali pelukan yang sudah hampir 6 bulan tidak dirasakannya. Akupun bisa melihat dengan jelas senyum yang terbentuk dari bibir yang masih merah sempurna tanpa lipstick, bahkan setelah menempuh berjam-jam perjalanan Australia - Indonesia.

Perempuan itu mencium pipiku, dan kembali memeluk Arie.

"Yuk, Len.." Ujar perempuan itu, memberikan kode agar aku, dirinya dan Arie meninggalkan tempat ini. Aku mengangguk dan menyeringai.

Aku berjalan dibelakang mereka yang tidak bisa melepaskan pegangan tangan masing-masing. Aku sudah terbiasa nampaknya. Hatiku sudah mulai sekarat, dan mungkin nanti akan mati. Dan saat kita tiba di pintu keberangkatan, perpisahanpun datang. Aku menangis tersedu, memeluk erat tubuhnya seakan tak ingin kehilangan. Tuhan, untuk yang satu ini, aku tidak berbohong.

Lalu, mereka pergi. Hilang di antara kepadatan bandara.

Aku berbalik, menuju kedai kopi di pojok terminal itu. Ku pesan lagi secangkir kopi, ku seduh dan ku minum perlahan,  yang kali ini.. tanpa Arie..
“ Cinta memang sebuah misteri, bahkan saat kita memutuskan untuk berjalan sendiri.. dihalangi jarak.”

Thursday, May 3, 2012

"Aku duduk bersandar dan aku merasa lemah sekali…., dan tidak tahu lagi harus berbuat apa untuk membuktikan sebuah angan yang menjadi beban dalam kebisingan otakku, aku tak tahu lagi bagaimana aku membuktikan apa yang kurasa pada dirimu, dirimu bagaikan batu yang harus kutembus dengan tetesan air sedikit demi sedikit,….. dan akankan dirimu mampu menerimaku apa adanya…… ?"



Aku? Siapakah aku? Aku hanya anak dari tukang pijat keliling yang penghasilannya 20.000 rupiah seharinya. Itupun jika ada. Jika tidak. Bisa-bisa kami sekeluarga tidak makan seharian. Kerjakupun hanya sebagai kuli angkut. Sedangakn dirinya, dia adalah ribuan warna dalam indahnya pelangi bagiku.Citra. Anak pengusaha kaya di kota ini. cantik, elok, jelita, dan tak terbersit kekurangan darinya. Mungkin aku hanya bermimpi untuk mendapatkan cintanya. Aku yang sedari SMP menmendam rasa padanya. Hanya mampu menyimpan saja. Aku tak berani mengungkapkan. Aku kalah oleh rasa takut. Takut ditolak olehmu. Dan akhirnya. Aku hanya menyimpan rasaku sampai saat ini.
Saat SMA, kami pernah sekali sekelas. Namun, aku tetap tak berani mengatakan rasaku pada Citra. Sesekali aku senang bisa sekelompok dengannya. Bahkan aku kegirangan saat bisa kerumahnya untuk mengerjakan tugas Bahasa Indonesia. Ketika itu aku bertemu dengan Mama dan Papanya. Aku memabayangkan melamar Citra pada mama dan papanya. Tapi siapakah aku yang berani-beraninya bermimpi setinggi itu. Ah… Mencintaimu pastilah sulit bagiku. Karena aku hanyalah pungguk yang merindukan bulan. Bagaimana kata orang tuamu nanti, jika aku benar melamarmu. Mereka pasti meremehkan aku. Mereka menganggap harta yang paling penting.
Namun kali ini berbeda. Aku dengar bahwa Citra akan dilamar oleh Fahri. Sahabatku. Namun nasib Fahri jauh lebih beruntung dibandingkan denganku. Dia menjadi guru di salah satu sekolah ternama di kotaku. Dan aku, masih setia memikul karung-karung beras di pundakku.
Ah… Andaikan saja mencintaimu tidak memandang harta sebagai yang terpenting. Akan aku buktikan cintaku dengan berapa banyak karung beras yang sudah kupikul seharian ini. Aku bisa memikul 3 truk penuh karung beras tanpa istirahat. Hanya untuk Citra.
Tapi jika sudah begini, aku tak tau harus berbuat apa. Citra akan dilamar oleh Fahri. Ah...
“Resa… melamun saja kamu. Dengar-dengar, Citra akan dilamar oleh Fahri?” Teguran Pak Paijo membuyarkan lamunanku.
“Eh. Iya pak. Tak taulah aku  harus bagaimana.”Jawabku sekenaya.
“Lamar dia saja duluan Sa. Tentu kamu punya uang tabunganmu untuk Citra itu kan? Yang tempo hari kau ceritakan padaku itu.” Kata pak Paijo.
“Benar juga Pak. Tapi aku tak yakin jika begini pak.”
“Sudahlah, aku mendukungku Sa.”
            Tapi akhirnya aku nekat juga. Pagi itu aku nekat kerumah Citra untuk melamarnya. Aku telah menghabiskan seluruh uang tabunganku untuk membelikan Citra cincin. 300.000 tabungnku, tak tersisa lagi. Padahal bapak sedang sakit dirumah. Tapi aku sudah nekat dan tak mau kehilangan Citra.
Pagi itu aku meminjam pakaian milik bapak. Bapak bilang ini baju bapak waktu pulang melamar emak dulu. Kemeja putih yang usang, yang jika dilihat lagi sudah berupa seonggok kain lap putih yang sengaja masih disimpan rapi oleh pemiliknya. Celanapun juga sudah butut. Aku tak punya pilihan lain lagli. Terpaksa aku memakainya. Dan sesesgera mungkin menuju rumah Citra.

Sesampainya disana aku melihat mobil Fahri.
Hatiku langsung mencelos melihatnya. Aku berniat langsung pulang. Tapi Citra melihatku, lalu memanggilku untuk sekedar mampir menjadi saksi lamaran Fahri pada Citra. Sesampainya didalam ternyata kedua keluarga ini sudah merencanakan tentang pernikahan mereka berdua. Aku dipandang rendah oleh mereka, tentu karena bajuku. Lemas aku rasanya. Aku hanya diam, terluka sendiri. Namun sungguh aku tak sanggup berbesar hati. Menerima kecewa dalam pikiran sunyi. Kakiku lemas. Mataku panas. Lidahku kelu. Ingin aku bunuh Fahri dan mencabiknya. Karena dia telah merebut Citra dariku. Aku bagaikan tertelan ribuan warna dalam indahnya pelangiku, pelangiku Citra.
Sepulangnya dari rumah Citra, aku berjalan terhuyung. Cemoohan itu, lamaran Fahri. ah…
Aku sudah tak ada harapan lagi bersama Citra. Jangankan hanya untuk bersama, untuk mengungkap rasa saja tidak tercapai.
Sesampai dirumah kuambil pisau berkarat. Ku iris-iris pergelangan tanganku. Sakit, perih, sedetik kemudian aku tersungkur ke tanah. Darah kian mengucur deras. Beberapa menit berlalu, Namun aku tak kunjung menghembuskan nafas terakhirku. Apa karena pisau orang miskin ini? Pisau berkarat milik emak. Ah… akhirnya aku ambil garpu. Aku tusuk-tusukkan pada pergelanganku tadi.  Seperih rasa cintaku pada Citra. Sesakit cemoohan mereka yang tadi kurasakan. Setelah lemas. Aku pasrah. Mungkin juga aku sudah siap menghadapi liang tanpa celah, dengan Tanya marrobbuka malaikat sang pencipta. Yang kupikir sekarang Citra, Citra, dan Citra.
------------
Tak tau berapa lama aku terbaring. Namun rasaku tak memakai apa-apa. Baju seba putihku, dan tali simpul diatas kepalaku. Lantunan yasin. Dan rasa perih. Aku sontak ketakutan, aku berteriak. Bangun dari tempat tidurku. Orang-orangpun berlarian dari rumah. Hanya tersisa Bapak dan Pak Paijo. Yang sedetik kemudian pak Paijo pingsan.
Aku mati suri. Namun, hanya ada satu yang selalu ada dipikiranku. Citra. ah... aku tak bisa menembus hati Citra.



(Hmm... Cerpen saya ini sebenarnya cerpen sedih.. tapi, waktu dibacakan kedepan teman-teman ngakak2 gitu, -.-" .
Apalagi pas bagian mikul 3 truk karung beras... pas bunuh diri gak sukses, malah ambil garpu... :-D
kata bu Djumalia cerpenq sebenerx bisa buat orang nangis, tapi berhubung aku yang baca.. jadi ya, begitulah
:-D ndak nyangka bisa ngarang dlm waktu 4 jam, :-D)
Penulis : Kurnia Siptana

Search This Blog

Illustrator :

Corel Draw :

Friends :