Tuesday, May 8, 2012
Release Date: 20 January 2012 Studio: Screen Gems (Sony)
Genre: Action, Horror, Science Fiction
Director: Mans Marlind,Bjorn Stein
Screenwriter: John Hlavin, J.Michael Straczynski
Official Website: EnterTheUnderworld.com
Starring: Kate Beckinsale
Running Time: Unknown
MPAA Rating: Not Yet Rated













 

Sunday, May 6, 2012
The Adventure Of Charles Augustus Milverton by Sir Arthur Conan Doyle



It is years since the incidents of which I speak took place, and yet it is with diffidence that I allude to them. For a long time, even with the utmost discretion and reticence, it would have been impossible to make the facts public, but now the principal person concerned is beyond the reach of human law, and with due suppression the story may be told in such fashion as to injure no one. It records an absolutely unique experience in the career both of Mr. Sherlock Holmes and of myself. The reader will excuse me if I conceal the date or any other fact by which he might trace the actual occurrence.
     We had been out for one of our evening rambles, Holmes and I, and had returned about six o'clock on a cold, frosty winter's evening. As Holmes turned up the lamp the light fell upon a card on the table. He glanced at it, and then, with an ejaculation of disgust, threw it on the floor. I picked it up and read:
 
The Field Bazaar by Sir Arthur Conan Doyle (1896)

"I Should certainly do it," said Sherlock Holmes.
     I started at the interruption, for my companion had been eating his breakfast with his attention entirely centered upon the paper which was propped up by the coffee pot.  Now I looked across at him to find his eyes fastened upon me with the half-amused, half-questioning expression which he usually assumed when he felt he had made an intellectual point.
     "Do what?" I asked.
     He smiled as he took his slipper from the mantelpiece and drew from it enough shag tobacco to fill the old clay pipe with which he invariably rounded off his breakfast.
     "A most characteristic question of yours, Watson," said he.  "You will not, I am sure, be offended if I say that any reputation for sharpness which I may possess has been entirely gained by the admirable foil which you have made for me.  Have I not heard of debutantes who have insisted upon plainness in
Sir Arthur Conan Doyle
The Adventures of Sherlock Holmes

We were seated at breakfast one morning, my wife and I, when the maid brought in a telegram. It was from Sherlock Holmes and ran in this way:
      Have you a couple of days to spare? Have just been wired for from the west of England in connection with Boscombe Valley tragedy. Shall be glad if you will come with me. Air and scenery perfect. Leave Paddington by the 11:15.
      "What do you say, dear?" said my wife, looking across at me. "Will you go?"
      "I really don't know what to say. I have a fairly long list at present."
      "Oh, Anstruther would do your work for you. You have been looking a little pale lately. I think that the change would do you good, and you are always so interested in Mr. Sherlock Holmes's cases."
      "I should be ungrateful if I were not, seeing what I gained through one of them," I answered. "But if I am to go, I must pack at once, for I have only half an hour." My experience of camp life in Afghanistan had at
Sir Arthur Conan Doyle
The Adventures of Sherlock Holmes
 
"To the man who loves art for its own sake," remarked Sherlock Holmes, tossing aside the advertisement sheet of the Daily Telegraph, "It is frequently in its least important and lowliest manifestations that the keenest pleasure is to be derived. It is pleasant to me to observe, Watson, that you have so far grasped this truth that in these little records of our cases which you have been good enough to draw up, and, I am bound to say, occasionally to embellish, you have given prominence not so much to the many causes celebres and sensational trials in which I have figured but rather to those incidents which may have been trivial in themselves, but which have given room for those faculties of deduction and of logical synthesis which I have made my special province."

"And yet," said I, smiling, "I cannot quite hold myself absolved from the charge of sensationalism which has been urged against my records."

"You have erred, perhaps," he observed, taking up a glowing cinder with the tongs and lighting with it the
Saturday, May 5, 2012
Bagiku jarak adalah palu besar bagi sebuah hubungan. Penghalang dan pengacau! Tapi sekarang…….. semuanya berubah.

Desember 25, 2011, by : Nafila Zain
"Air putih?" Aku menawarkan sebotol air mineral berlabel yang ku beli dengan harga 5000 rupiah itu, cukup mahal memang untuk sebuah botol berukuran sedang. Tapi ya, ini bandara Soekarno Hatta, tempat semua menjadi mahal, jika sebotol air mineral saja bisa sebegitu mahalnya, apalagi harga sebuah pertemuan.

Arie tak menjawab apa-apa, hanya mengambil air yang aku sodorkan, membukanya dengan pelan tapi cukup kuat, terlihat dari urat yang menonjol di punggung tangannya yang berkulit agak kecoklatan itu. Meneguknya perlahan, lalu kembali memberikannya padaku.

Aku dan Arie,
kami tidak mampu mendeskripsikan apa yang sedang terjadi diantara kita, tapi satu hal pasti yang aku tau, aku sayang pria yang sedang berdiri didepanku ini. Gelisah seakan menunggu sesuatu, melihat jam berkali-kali di tangan kanannya. Atau melihat sebuah layar LCD besar dekat tempatnya berdiri.

Arie yang selalu kebingungan setiap aku kebingungan mengapa ia selalu memakai jam ditangan kanan. Arie yang seringkali menelponku di kala hari mulai pagi hanya untuk sekedar bercengkrama pelan, lalu aku tertidur tanpa mendengar lagi apa yang Arie utarakan.

Aku sayang pria ini, pria yang sejak sejam yang lalu mengecek ponselnya, bertanya kepada bapak penjaga terminal bandara ini, menanyakan kabar pesawat yang diincarnya. Aku tidak bisa berbuat banyak, hanya menawarkan air mineral, dan menepuk bahunya pelan untuk mengingatkannya agar selalu bersabar.

Mengingatkannya bahwa arti pertemuan itu mahal.

"Jadi, udah mulai terbiasa sama jarak?" Aku membuka pembicaraan ditengah riuhnya bandara dan suara tas koper yang didorong mondar mandir disekeliling kami duduk. Arie hanya menerawang dan mengangkat sedikit alisnya, kembali melihat jam di tangan kanannya dan mengecek ponsel hitamnya, lalu memasukkan kembali ke saku jaket yang ku belikan untuk hadiah ulang tahunnya setahun lalu. Sebuah jaket coklat, yang ku beli dengan uang tabunganku sendiri, yang diterimanya dengan wajah sumringah dan tawa renyah yang menunjukkan deretan gigi rapi walau dengan gusi yang mulai menyoklat karena kebiasaan merokoknya yang tidak kenal waktu.

"Ga tau, dibiasain aja.. Kan kalau kangen masih bisa nelpon atau skype kan?"
"Yakin rindu bisa disembuhkan hanya dengan pembicaraan via teknologi?" Aku tersenyum nakal sembari memberikannya kode untuk pindah tempat duduk ke tempat yang lebih kondusif. Kehingaran bandara membuat aku tidak dapat menikmati suara halusnya dan intonasi lembut serta pelan yang keluar dari mulut seorang Arie. Lagi-lagi Arie hanya mengangkat alis. Menyamakan langkah denganku dan terhenti pada sebuah kedai kopi di pojok terminal.

"Aku masih belum yakin, Mbem.." Arie menyebutku "Mbem", pipiku yang bulat menuntunnya memanggilku dengan sebutan demikian, aku tidak pernah complain, aku merasa panggilan itu aman dimulutnya. Aku menikmatinya. "Kita liat aja bisa sejauh apa kan? Emang kamu punya prediksi bakal sejauh apa? Jarak seharusnya bukan jadi masalah sih, selama dua orang itu saling percaya dan punya tujuan yang sama kan?"

Aku meminum kopi gelasku, menawarkan sisanya kepada Arie. Ia menjauhkan gelas kopi itu dari jangkauannya, seakan berpikir sangat berat akan arti sebuah pertemuan langka dan perpisahan yang akan menjadi sahabat. Tidak biasanya Arie menolak kopi yang ditawarkan, guratan di dahinya seakan mengatakan bahwa ada yang berlari dikepalanya.

"Percaya aja Mpengg, kalau emang jodoh ga akan kemana.. Kalau kamu ga yakin jangan dijalanin.. Hubungan itu butuh kesiapan dua  belah pihak, kalau hanya kamu atau pasangan kamu yang siap, gak akan bisa jalan.. Percaya aja, bahwa kita ini terlahir ke dunia udah dengan garis tangannya masing-masing. Kamu tinggal jalanin diri kamu yang terbaik aja, kebaikan akan mengikuti kamu.."

"Aku serius dengan hubungan ini, Mbem.."
"Lahh ya kalau serius sok atuh dijalanin, Mpengg.. Apa lagi yang ngeberatin kamu? Jarak? Cuma 4 tahun Arie.. Abis kelar master, tinggal nikah.."
Arie tertawa pahit, kalah dengan argumenku, Arie akhirnya meminum kopi yang ku tawarkan. Lalu ikut memesan segelas kopi mocha dan menoyor kepalaku. Aku dan Arie memang seperti ini, menghabiskan waktu berdua semenjak kami masih duduk di bangku sekolah hingga kami setua ini. Arie yang mengajariku tentang cinta, Arie pula yang sering mengomeliku untuk tetap bertahan dalam sebuah hubungan jarak jauh. Arie  yang menemani malamku, aku yang mengisi kesepian Arie. Kami memang saling semengisi itu..

"Kamu pernah keberatan sama jarak, Mbem?"
"Aku? Untuk apa.. jarak hanya menjadi masalah kalau cinta dan kepercayaan tidak terlalu kuat, Mpengg.. Hehe. Rugi mikirin hal yang memberatkan, pola pikirnya jadi berantakan. Mendingan mikir untungnya, setidaknya ada orang yang ditunggu dan menunggu kita, dibanding mikirin kapan bisa berdiri ditempat ini lagi untuk menunggu kan?" pikiranku mulai kacau, dan aku tau bahwa aku sedang berbohong.
"Yeah.."
"Relax, Arie.. Everything will be fine. Put your faith, Distance is not for the fearful, it is for the bold. It's for those who are willing to spend a lot of time alone in exchange for a little time with the one they love. It's for those knowing a good thing when they see it, even if they don't see it nearly enough..."
Aku mengenggam tangan Arie, menguatkannya dengan cara menguatkan genggamanku di tangannya.

Arie kembali melihat jam,
"Seharusnya sudah waktunya.."
"Sabar.. Nikmatin aja dulu kopi kita selama kita masih ada waktu.."

Aku menyeruput kopi yang masih hangat, dan mulai mengeluarkan Blackberry ku untuk mengecheck Timeline Twitter. Arie masih sibuk dengan ponselnya, mengetik pesan yang sepertinya penting untuknya. Mata bundarnya mencari kesana kemari, entah apa yang dicari. Mungkin kesempatan, mungkin waktu, mungkin kekuatan.. atau mungkin harapan.
Aku mencoba tenang dengan melihatnya, menguatkannya lagi dengan menepuk ringan bahunya. Membiarkan ia menggerakkan kakinya ke kaki meja, walau itu sebenarnya agak mengangguku karena kopiku yang menjadi bergerak-gerak dan sedikit tumpah. Arie memang seperti itu, kakinya terprogram untuk tak bisa diam, apalagi di kala ia sedang menunggu sesuatu.

Aku masih menikmati kopi dan timeline Twitter saat aku mendengar pemberitahuan bandara internasional ini. Dengan bergegas aku dan Arie membereskan semuanya. Dan menaruh HP, membayar apa yang dipesan dan menuju tujuan tempat kami berangkat ke bandara ini.

Arie berdiri, aku terdiam.
Arie mengalihkan pandangannya dariku, seakan mencari sesuatu. Aku semakin terdiam.

...

Dari arah kejauhan, bahkan tanpa kacamata, aku bisa melihat sesosok wanita berambut tergelung keatas. Mengenakan sweater pink yang pas sekali jatuh ditubuhnya. Dengan anak rambut yang menutupi tengkuknya. Mendorong kereta berisi 2 buah koper besar dan boneka beruang berwarna coklat. Aku masih terkesima dengan elok tubuhnya, merah bibirnya dan senyum manisnya saat ia berteriak...

"Arie! Ellena!"

Ya perempuan itu menghampiri kami, memeluk Arie dengan erat sekali. Aku bisa melihat dengan jelas bagaimana Arie menutup matanya seakan menikmati sekali pelukan yang sudah hampir 6 bulan tidak dirasakannya. Akupun bisa melihat dengan jelas senyum yang terbentuk dari bibir yang masih merah sempurna tanpa lipstick, bahkan setelah menempuh berjam-jam perjalanan Australia - Indonesia.

Perempuan itu mencium pipiku, dan kembali memeluk Arie.

"Yuk, Len.." Ujar perempuan itu, memberikan kode agar aku, dirinya dan Arie meninggalkan tempat ini. Aku mengangguk dan menyeringai.

Aku berjalan dibelakang mereka yang tidak bisa melepaskan pegangan tangan masing-masing. Aku sudah terbiasa nampaknya. Hatiku sudah mulai sekarat, dan mungkin nanti akan mati. Dan saat kita tiba di pintu keberangkatan, perpisahanpun datang. Aku menangis tersedu, memeluk erat tubuhnya seakan tak ingin kehilangan. Tuhan, untuk yang satu ini, aku tidak berbohong.

Lalu, mereka pergi. Hilang di antara kepadatan bandara.

Aku berbalik, menuju kedai kopi di pojok terminal itu. Ku pesan lagi secangkir kopi, ku seduh dan ku minum perlahan,  yang kali ini.. tanpa Arie..
“ Cinta memang sebuah misteri, bahkan saat kita memutuskan untuk berjalan sendiri.. dihalangi jarak.”

Search This Blog

Illustrator :

Corel Draw :

Friends :